Sarara Media
Senja Dipelepuk Arkam (Part 1)
Saturday, 21 Jun 2025 00:00 am
Sarara Media

Sarara Media

Oleh: Rgelara

Senja merangkak turun perlahan, membasuh langit desa kecil itu dengan rona jingga keemasan yang hangat sekaligus sendu.

Arkam melangkah gontai di jalan setapak yang berdebu; setiap langkah terasa berat, seolah seluruh beban dunia menempel di pundaknya yang kurus dan renta oleh waktu.

Napasnya tersengal, bukan hanya karena jauhnya jarak yang ditempuh, tetapi juga oleh bayang-bayang beban tak kasat mata—kerinduan dan tanggung jawab—yang membelit jiwanya seperti rantai halus namun mencengkeram.

Rumah paman berdiri bagai benteng sunyi, diterpa cahaya senja yang kian memudar. Sosok paman berdiri di teras, menyerupai pohon tua yang penuh luka namun tetap kokoh menahan angin.
Tatapan matanya yang keriput merekah oleh kecemasan dan harap, menanti seseorang yang tak pernah ia lupa doakan.

Ketika Arkam akhirnya melangkah mendekat, paman menyambutnya dengan tatapan penuh tanya dan suara lirih, “Mengapa kau terlambat, Arkam?”

Arkam menghela napas panjang. Tubuhnya merosot di bangku kayu yang telah rapuh oleh usia.

``Ada sesuatu yang berat, Paman… berat sekali di pundakku,`` ucapnya, parau suara itu bagai angin lembut yang melintasi lembah sunyi.

``Beban itu bukan sekadar tas yang kugendong. Ini… lebih dalam dari itu. Sebuah rantai tak terlihat yang melingkari setiap denyut jantungku, mengikat setiap helaan nafasku. Aku lelah, Paman… lelah melebihi kata-kata,``

Paman mengusap pundak Arkam, dengan tangan berurat seperti akar yang menghujam bumi penuh kelembutan dan keteguhan yang lahir dari perjalanan panjang kehidupan.

``Apa itu, Nak?`` tanyanya, pelan.

Arkam menatap jauh ke cakrawala, ke langit yang perlahan berubah kelabu.

``Itu… beban Ibu, Paman. Cinta yang melekat sejak aku pertama kali menarik napas di dunia ini. Sebuah doa yang tak pernah lepas dari langkahku, yang kini menjadi ikatan janji dan pengorbanan,``

Ia terdiam, membiarkan angin membawa harum tanah basah dan kisah lama yang tertinggal di pelupuk kenangan.

``Aku dulu mengira beban itu hanya fisik seperti membawa karung atau memikul kayu. Tapi sekarang aku tahu, ia adalah sungai yang mengalir di dasar hidupku. Ia adalah harapan yang tak pernah mati, pengorbanan yang diam, dan kerinduan yang tak pernah usai,``

``Ibu telah pergi, Paman… telah menghadap-Nya. Tapi senyumnya masih tinggal di setiap sudut rumah, di setiap pagi yang membeku, sebelum dunia tersadar. Doanya selalu menyatu dengan udara, menguatkanku tanpa suara,``

Paman memandangnya dengan mata yang mulai basah mata seorang lelaki yang pernah kehilangan, tetapi tak pernah menyerah.

``Nak,`` bisiknya lembut,

``beban itu bukan sekadar himpitan. Ia adalah cinta… bentuk kasih yang tak sempat diucapkan. Dan kau, tidak sendirian memikulnya. Aku di sini seperti akar pohon yang menopang batang. Selalu,``

Seberkas Cahaya Harapan.